Filsafat Pendidikan
Pendahuluan
Dalam tugas ini kami membahas pertama-tama tentang
pemikiran-pemikiran John Locke dan John Dewey seputar manusia dan dunia
pendidikan dari segi filsafati. Pemikiran John Locke dan John Dewey tentang
filsafat pendidikan berangkat dari pemikirannya tentang manusia. Karena itu
sebelum membahas mengenai pandangan mereka tentang pendidikan terlebih dahulu
kami menguraikan sedikit tentang manusia sebagai bagian dari pokok pemikirannya
tentang filsafat pendidikan.
Berdasarkan pandangan mereka kami mencoba melihat
relevansinya bagi peranan guru dalam proses mengajar dan peranan siswa dalam
proses belajar.
Sebagai landasan pendidikan Islam,
maka al-Qur’an memiliki kedudukan sebagai qat’ī al-dalālah. Sedangkan
hadis, ada yang qat’ī al-dalālah dan ada yang zannī al-dalālah.
Karena demikian halnya, maka yang harus dijadikan landasan pertama dan utama
dalam pendidikan Islam adalah al-Qur’an, di mana di dalamnya banyak ditemukan
ayat yang berkenaan dengan teori belajar-mengajar, dan teori belajar-mengajar
itu sendiri merupakan esensi dari pendidikan.
Di samping teori belajar mengajar,
ada pula teori nativisme, empirisme, dan konvergensi. Teori-teori ini erat
kaitannya dengan teori belajar mengajar yang bersumber dari aliran-aliran klasik
dan merupakan benang merah yang menghubungkan pemikiran-pemikiran pendidikan
masa lalu, kini, dan mungkin yang akan datang. Aliran-aliran itu mewakili
berbagai variasi pendapat tentang pendidikan, mulai dari yang paling pesimis
sampai dengan yang paling optimis. Aliran yang paling pesimis memandang bahwa
pendidikan kurang bermanfaat, bahkan mungkin merusak bakat yang telah dimiliki
anak. Sedang sebaliknya, aliran yang sangat optimis memandang anak seakan-akan
tanah liat yang dapat dibentuk sesuka hati. Banyak pemikiran yang berada di
antara kedua kutub tersebut, yang dipandang sebagai variasi gagasan dan
pemikiran dalam pendidikan.
Ketiga aliran pendidikan yang
disebutkan di atas, juga memiliki keterkaitan erat dengan petunjuk al-Qur’an
tentang masalah fitrah manusia. Karena itulah, maka dapat dirumuskan bahwa
sangat penting untuk dibahas berbagai petunjuk al-Qur’an tentang teori belajar
mengajar dan kaitannya dengan teori nativisme, teori empirisme, dan teori
konvergensi.
Terdapat perbedaan pandangan tentang
teori belajar dalam berbagai aliran-aliran pendidikan. Perbedaan-perbedaan itu,
berpangkal pada berbedanya pandangan tentang perkembangan manusia yang banyak
ditemukan pembahasannya dalam psikologi pendidikan.
Teori-teori belajar dan mengajar
yang muara akhirnya adalah perkembangan intelektual, pada dasarnya dapat
dilihat dari berbagai teori yang terdapat dalam tiga aliran pendidikan, yakni
aliran nativisme, aliran empirisme, dan aliran konvergensi.
1. Nativisme
Aliran nativisme berasal dari kata natus
(lahir); nativis (pembawaan) yang ajarannya memandang manusia (anak
manusia) sejak lahir telah membawa sesuatu kekuatan yang disebut potensi
(dasar). Aliran nativisme ini, bertolak dari leibnitzian tradition yang
menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk
faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak dalam proses
pembelajaran. Dengan kata lain bahwa aliran nativisme berpandangan segala
sesuatunya ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir, jadi perkembangan
individu itu semata-mata dimungkinkan dan ditentukan oleh dasar turunan,
misalnya ; kalau ayahnya pintar, maka kemungkinan besar anaknya juga pintar.
Para penganut aliran nativisme
berpandangan bahwa bayi itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan
buruk. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang
sudah dibawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan ini, maka keberhasilan
pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri. Ditekankan bahwa “yang jahat
akan menjadi jahat, dan yang baik menjadi baik”. Pendidikan yang tidak sesuai
dengan bakat dan pembawaan anak didik tidak akan berguna untuk
perkembangan anak sendiri dalam proses belajarnya.
Bagi nativisme, lingkungan sekitar
tidak ada artinya sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam mempengaruhi
perkembangan anak. Penganut pandangan ini menyatakan bahwa jika anak memiliki
pembawaan jahat maka dia akan menjadi jahat, sebaliknya apabila mempunyai
pembawaan baik, maka dia menjadi orang yang baik. Pembawaan buruk dan pembawaan
baik ini tidak dapat dirubah dari kekuatan luar.
Tokoh utama (pelopor) aliran
nativisme adalah Arthur Schopenhaur (Jerman 1788-1860). Tokoh lain seperti J.J.
Rousseau seorang ahli filsafat dan pendidikan dari Perancis. Kedua tokoh ini
berpendapat betapa pentingnya inti privasi atau jati diri manusia. Meskipun
dalam keadaan sehari-hari, sering ditemukan anak mirip orang tuanya (secara
fisik) dan anak juga mewarisi bakat-bakat yang ada pada orang tuanya. Tetapi
pembawaan itu bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang menentukan
perkembangan. Masih banyak faktor yang dapat memengaruhi pembentukan dan
perkembangan anak dalam menuju kedewasaan.
2. Empirisme
Aliran empirisme, bertentangan
dengan paham aliran nativisme. Empirisme (empiri = pengalaman), tidak
mengakui adanya pembawaan atau potensi yang dibawa lahir manusia. Dengan kata
lain bahwa manusia itu lahir dalam keadaan suci, tidak membawa apa-apa. Karena
itu, aliran ini berpandangan bahwa hasil belajar peserta didik besar
pengaruhnya pada faktor lingkungan.
Dalam teori belajar mengajar, maka
aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan
stimulasi eksternal dalam perkembangan peserta didik. Pengalaman belajar yang
diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dari dunia sekitarnya berupa
stimulan-stimulan. Stimulasi ini berasal dari alam bebas ataupun diciptakan
oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan.
Tokoh perintis aliran empirisme
adalah seorang filosof Inggris bernama John Locke (1704-1932) yang
mengembangkan teori “Tabula Rasa”, yakni anak lahir di dunia bagaikan kertas
putih yang bersih. Pengalaman empirik yang diperoleh dari lingkungan akan
berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan anak. Dengan demikian, dipahami
bahwa aliran empirisme ini, seorang pendidik memegang peranan penting terhadap
keberhasilan peserta didiknya.
Menurut Redja Mudyahardjo bahwa
aliran nativisme ini berpandangan behavioral, karena menjadikan perilaku
manusia yang tampak keluar sebagai sasaran kajiannya, dengan tetap menekankan
bahwa perilaku itu terutama sebagai hasil belajar semata-mata. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa keberhasilan belajar peserta didik menurut aliran
empirisme ini, adalah lingkungan sekitarnya. Keberhasilan ini disebabkan oleh
adanya kemampuan dari pihak pendidik dalam mengajar mereka.
3. Konvergensi
Aliran konvergensi berasal dari kata
konvergen, artinya bersifat menuju satu titik pertemuan. Aliran ini
berpandangan bahwa perkembangan individu itu baik dasar (bakat, keturunan)
maupun lingkungan, kedua-duanya memainkan peranan penting. Bakat sebagai
kemungkinan atau disposisi telah ada pada masing-masing individu, yang kemudian
karena pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan untuk perkembangannya,
maka kemungkinan itu lalu menjadi kenyataan. Akan tetapi bakat saka tanpa
pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan tersebut, tidak
cukup, misalnya tiap anak manusia yang normal mempunyai bakal untuk berdiri di
atas kedua kakinya, akan tetapi bakat sebagai kemungkinan ini tidak akan
menjadi menjadi kenyataan, jika anak tersebut tidak hidup dalam lingkungan
masyarakat manusia.
Perintis aliran konvergensi adalah
William Stern (1871-1939), seorang ahli pendidikan bangsa Jerman yang
berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia disertai pembawaan baik
maupun pembawaan buruk. Bakat yang dibawa anak sejak kelahirannya tidak
berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai untuk
perkembangan bakat itu. Jadi seorang anak yang memiliki otak yang cerdas, namun
tidak didukung oleh pendidik yang mengarahkannya, maka kecerdasakan anak
tersebut tidak berkembang. Ini berarti bahwa dalam proses belajar peserta didik
tetap memerlukan bantuan seorang pendidik untuk mendapatkan keberhasilan dalam
pembelajaran.
Ketika aliran-aliran pendidikan,
yakni nativisme, empirisme dan konvergensi, dikaitkan dengan teori belajar
mengajar kelihatan bahwa kedua aliran yang telah disebutkan
(nativisme-empirisme) mempunyai kelemahan. Adapun kelemahan yang dimaksudkan
adalah sifatnya yang ekslusif dengan cirinya ekstrim berat sebelah. Sedangkan
aliran yang terakhir (konvergensi) pada umumunya diterima seara luas sebagai
pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh-kembang seorang peserta didik dalam
kegiatan belajarnya. Meskipun demikian, terdapat variasi pendapat tentang
faktor-faktor mana yang paling penting dalam menentukan tumbuh-kembang itu.
Keberhasilan teori belajar mengajar
jika dikaitkan dengan aliran-aliran dalam pendidikan, diketahui beberapa
rumusan yang berbeda antara aliran yang satu dengan aliran lainnya. Menurut
aliran nativisme bahwa seorang peserta tidak dapat dipengaruhi oleh lingkungan,
sedangkan menurut aliran empirisme bahwa justru lingkungan yang mempengaruhi
peserta didik tersebut. Selanjutnya menurut aliran konvergensi bahwa antara
lingkungan dan bakat pada peserta didik yang terbawa sejak lahir saling
memengaruhi.
Al-Qur’an sebagai acuan dasar
pendidikan Islam dalam menerangkan teori belajar mengajar telah memberikan
konsep terhadap pemikiran yang terdapat aliran nativisme, empirisme dan
konvergensi. Dalam hal ini, al-Qur’an menegaskan bahwa pembawaan seorang anak
(peserta didik) sejah lahirnya disebut fitrah, dan fitrah ini adalah dasar
keagamaan yang dimiliki oleh setiap orang. Fitrah menurut al-Qur’an di samping
dapat menerima pengaruh dari dalam (keturunan) juga dapat menerima pengaruh
dari luar (lingkungan). Untuk mengembangkan fitrah ini, maka pendidikan
keluarga, sekolah, dan masyarakat sangat penting peranannya.
I. Filsafat Pendidikan Menurut John
Locke dan John Dewey
1. John Locke
1.1. Pokok Pikiran Filosofis John
Locke
Pemikiran filosofis John Lucke menampilkan perhatiannya yang
begitu besar bagi kondisi natural alam dan manusia. Maksudnya John Lucke
menampilkan sistem pemikiran filosofis yang berbasis pada kondisi natural.
Pemikiran Lucke tentang alam dan manusia ditempatkannya dalam konteks
pengalaman sebagai dasar dari perkembangan hidup manusia.
Locke mengaskan bahwa tak ada realitas lain yang lebih
tinggi dari pada dunia empiris. Dunia itu berisi kualitas-kualitas primer yang
menjadi dasar dan pembentuk manusia. Tanpa sustratum material yang ada
dalam alam, manusia tak dapat membayangkan adanya kualitas-kualitas sekunder
yang ditangkap oleh pancaindra dan yang direfleksikan oleh akal budi. Tak ada
realitas lain yang lebih tinggi dari pada dunia indrawi. Hal ini berarti, alam
menjadi sumber pengalaman dan pengetahuan manusia. Semua pengetahuan manusia
dapat tergantung pada penglihatan aktualnya dan pengalaman indrawinya dengan
obyek-obyek material. Dalam kontak tersebut, pancaindra menangkap obyek-obyek
itu, dan dengan bantuan akal budinya, obyek-obyek itu dianalisa dan
direfleksikan. Oleh sebab itu, bagi John Locke sendiri, menolak adanya
faktifisasi obyek meterial, identik dengan menyangkan eksistensi pengetahuan.
Pandangan Locke tentang manusia berangkat dari penolakannya
terhadap teori innatisme[1] yang mengakui adanya ide-ide bawaan
dari diri manusia. Ia berpendapat bahwa manusia tidak dapat menghasilkan
pengetahuannya dari dirinya sendiri.[2] Ketika lahir, manusia bagaikan
kertas putih yang baru dan belum terisi. Dalam dirinya tidak ada ide yang
diwariskan oleh Allah, tak ada ide tentang kebenaran moral dan kebaikan,[3] bahkan kecenderungan atau
kebiasaan-kebiasaan bawaan. Akal budi masih kosong. Namun dalam situasi yang
kosong itu, manusia sadar bahwa ia tidak bisa menghasilkan sesuatu yang berguna
bagi eksistensinya. Dalam usaha untuk mewujudkan eksistensinya tersebut,
manusia mulai membangun kontak dengan lingkungan sekitarnya dan membentuk dalam
dirinya pengalaman-pengalaman akan setiap obyek yang dihadapinya.
Konsekuensinya, akal budi manusia mulai terisi dan ia menjadi person yang
rasional.
Penolakan Locke atas ide bawaan mendukung usaha individu
dalam kebutuhannya untuk mendapatkan pengetahuan dari pengalaman.[4] Menurutnya, seorang dapat menjadi
budak atau bebas ditentukan oleh hak-hak kodrati seperti hak hidup, kebebasan
dan hak milik.[5] Dengan demikian, Locke menampilkan
karakter dasar manusia sebagai makhluk rasional dan moral.[6] Menurut Locke, secara kodrati
manusia itu baik dan tanpa cela. Dalam kondisi alamiahnya itu, ia menjadi
person yang bebas untuk menentukan dirinya dan menggunakan hak miliknya tanpa
tergantung pada kehendak orang lain.[7] Namun dalam kebebasannya tersebut,
manusia harus tinggal dan membentuk satu masyarakat politis, di mana
seluruh anggotanya memiliki hak dan kebebasan yang sama. Serentak juga ia sadar
bahwa semua manusia sama. Dalam kebersamaan tersebut, mereka mempercayakan
kekuasaan kepada penguasa dengan syarat bahwa hak-hak kodrati itu dihormati
oleh penguasa-penguasa tersebut[8] dengan tujuan untuk mencapai
kebahagiaan hidup.
1.2. Pandangan John Locke Tentang
Pendidikan
A. Tujuan Pendidikan
Dalam pandangannya tentang filsafat ilmu pengetahuan, Locke
mengemukakan tentang beberapa tujuan dari pendidikan, yakni pertama,
pendidikan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran setiap manusia
(bangsa). Oleh sebab itu, sebagai bagian akhir dari pendidikan, pengetahuan
hendaknya membantu menusia untuk memperoleh kebenaran, keutamaan dan
kebijaksanaan hidup.[9] Kedua, pendidikan juga
bertujuan untuk mencapai kecerdasan setiap individu dalam menguasai ilmu
pengetahuan sesuai dengan tingkatannya. Dalam konteks itu, Locke melihat
pengetahuan sebagai usaha untuk memberantas kebodohan dalam hidup masyarakat.[10] Setiap manusia diarahkan pada usaha
untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Ketiga,
pendidikan juga menyediakan karakter dasar dari kebutuhan manusia untuk menjadi
pribadi yang dewasa dan bertanggungjawab.[11] Dalam arti ini, pengetahuan dilihat
oleh John Locke sebagai sarana untuk membentuk manusia menjadi pribadi yang
bermoral.[12] Seluruh tingkah laku diarahkan pada
usaha untuk membentuk pribadi manusia yang baik, sesuai dengan karakter dasar
sendiri sejak diciptakan. Keempat, pendidikan menjadi sarana dan usaha
untuk memelihara dan membaharui sistem pemerintahan yang ada.[13]
B. Hakekat Pendidikan
Menurut Locke, seluruh pengetahuan pada hakekatnya berasal
dari pengalaman. Apa yang kita ketahui melalui pengalaman itu bukanlah obyek
atau benda yang hendak kita ketahui itu sendiri, melainkan hanya kesan-kesan
pada pancaindra kita. Dalam bukunya An Essay Concerning Human Understanding,
Locke berpendapat bahwa ide datang dari dua sumber pengalaman, yaitu pengalaman
lahiria (sensation) dan pengalaman badaniah (reflektion).[14] Kedua pengalaman ini saling
menjalin. Locke melukiskan bahwa pikiran sebagai sesuatu lembaran kosong yang
menerima segala sesuatu dari pengalaman. Materi-materi diperoleh secara pasif
melalui pancaindra dan dengan aktivitas pikiran materi-materi itu disusun
menjadi suatu jaringan pengetahuan yang disebutnya sebagai reflection.[15] Materi-materi yang berada di luar
kita menimbulkan di dalam diri kita gagasan-gagasan dari pengalaman lahiriah.
Oleh Locke, gagasan-gagasan ini diberdakan atas gagasan-gagasan tunggal (simple
ideas) dan gagasan-gagasan majemuk (complex ideas). Gagasan-gagasan
tunggal muncul kepada kita melalui pengalaman, tanpa pengolahan secara logis
sedangkan gagasan-gagasan majemuk timbul dari perpaduan gagasan-gagasan
tunggal.
C. Metode Pendidikan
Pada dasarnya Locke menolak metode pangajaran yang biasa
disertai dengan hukuman. Baginya, tata krama dipelajari melalui teladan dan
bahasa dipelajari melalui kecakapan.[16] Dengan demikian metode yang
ditawarkan Locke adalah pelajaran melalui praktek. Metode harus membawa para
murid kepada praktek aktivitas-aktivitas kesopanan yang ideal sampai mereka
menjadi terbiasa.[17] Anak-anak pertama-tama belajar
melalui aktivitas-aktivitas yang dilakukan, baru kemudian tiba pada pengertian
atau pengetahuan atas apa yang ia lakukan.
D. Kurikulum Inti
John Locke menegaskan kurikulum harus diarahkan demi
kecerdasan individual, kemampuan dan keistimewaan anak-anak dalam menguasai
pengetahuan dan bukan pada pengetahuan yang biasa diajarkan dengan hukuman yang
sewenang-wenang. Kurikulum bagi kaum miskin hendaknya difokuskan pada ibadat
yang teratur demi memperbaiki kehidupan religius dan moral, pada kerajinan
tangan dan ketrampilan pertanian, pada pendidikan kesenian, dengan suatu maksud
bahwa para murid harus belajar membaca, menulis dan mengerjakan ilmu pasti.[18]
Menurut Locke perkembangan kepribadian yang baik terdiri
dari tiga bagian: kebajikan, kebijaksanaan dan pendidikan. Pendidikan ini
mencakup membaca, menulis dan ilmu menghitung, bahasa dan kesusastraan,
pengetahuan alam, pengetahuan sosial dan kesenian.[19] Ia juga menekankan studi geografi,
aritmatika, astronomi, geometri, sejarah, etika, dan hukum sipil.
2. John Dewey
Pandangan Dewey tentang manusia bertolak dari konsepnya
tentang situasi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk sosial,
sehingga segala perbuatannya, entah baik atau buruk akan diberi penilaian oleh
masyarakat. Akan tetapi di lain pihak, manusia menurutnya adalah yang
menciptakan nilai bagi dirinya sendiri secara alamiah. Masyarakat di sekitar
manusia dengan segala lembaganya, harus diorganisir dan dibentuk sedemikian
rupa sehingga dapat memberikan perkembangan semaksimal mungkin. Itu berarti,
seorang pribadi yang hendak berkembang selain berkembang atas kemungkinan
alamiahnya, perkembangan juga turut didukung oleh masyarakat yang ada
disekitarnya.
Dewey juga berpandangan bahwa setiap pribadi manusia
memiliki struktur-struktur kodrati tertentu. Misalnya insting dasar yang dibawa
oleh setiap manusia. Insting-insting dasar itu tidak bersifat statis atau sudah
memiliki bentuk baku, melainkan sebagai fleksibel. Fleksibelitasnya tampak
ketika insting bereaksi terhadap kesekitaran. Pokok pandangan Dewey di sini
sebenarnya ialah bahwa secara kodrati struktur psikologi manusia atau kodrat
manusia mengandung kemampuan-kemampuan tertentu. Kemampuan-kemampuan itu
diaktualisasikan sesuai dengan kondisi sosial kesekitaran manusia. Bila
seseorang berlaku yang sama terhadap kondisi kesekitaran, itu disebabkan karena
“kebiasaan”, cara orang bersikap terhadap stimulus-stimulus tertentu. Kebiasaan
ini dapat berubah sesuai dengan tuntutan kesekitarannya.
2.2. Pandangan John Dewey Tentang
Pendidikan
A. Hakekat Pendidikan
Dewey menjadi sangat terkenal karena pandangan-pandangannya
tentang filfsafat pendidikan. Pandangan-pandangan yang dikemukakan banyak
mempengaruhi perkembangan pendidikan modern di Amerika. Ketika ia pertama kali
memulai eksperimennya di Universitas Chicago, ia mulai mengkritik tentang
sistem pendidikan tradisional yang bersifat determinasi. Sekarang ini,
pandangannya tidak berlaku di Amerika tetapi juga di banyak negara lain di
seluruh dunia.[21]
Bagi Dewey, kehidupan masyarakat yang berdemokratis
adalah dapat terwujud bila dalam dunia pendidikan hal itu sudah terlatih
menjadi suatu kebiasaan yang baik. Ia mengatakan bahwa ide pokok demokratis
adalah pandangan hidup yang dicerminkan dengan perluanya pastisipasi dari
setiap warga yang sudah dewasa dalam membentuk nilai-nilai yang mengatur hidup
bersama. Ia menekankan bahwa demokrasi merupakan suatu keyakinan, suatu prinsip
utama yang harus dijabarkan dan dilaksanakan secara sistematis dalam bentuk
aturan sosial politik.[22] Sehubungan dengan hal tersebut maka
Dewey menekankan pentingnya kebebasan akademik dalam lingkungan pendidikan. Ia
dengan secara tidak langsung menyatakan bahwa kebebasan akademik diperlukan
guna mengembangkan prinsip demokrasi di sekolah yang bertumpuh pada interaksi
dan kerja sama, berdasarkan pada sikap saling menghormati dan memperhatikan
satu sama lain; berpikir kreatif menemukan solusi atas problem yang dihadapi
bersama, dan bekerja sama untuk merencanakan dan melaksanakan solusi. Secara
implisit hal ini berarti sekolah demokratis harus mendorong dan memberikan
kesempatan kepada semua siswa untuk aktif berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan, merancang kegiatan dan melaksanakan rencana tersebut.
B. Fungsi dan Tujuan Pendidikan.
Dewey sangat menganggap penting pendidikan dalam rangka
mengubah dan membaharui suatu masyarakat. Ia begitu percaya bahwa pendidikan
dapat berfungsi sebagai sarana untuk peningkatan keberanian dan pembentukan
kemampuan inteligensi. Dengan itu, dapat pula diusahakan kesadaran akan
pentingnya penghormatan pada hak dan kewajiban yang paling fundamental dari
setiap orang. Baginya ilmu mendidik tidak dapat dipisahkan dari filsafat.
Maksud dan tujuan sekolah adalah untuk membangkitkan sikap hidup yang
demokratis dan untuk mengembangkannya. Pendidikan merupakan kekuatan yang dapat
diandalkan untuk menghancurkan kebiasaan yang lama dan membangun kembali yang
baru.
C. Kurikulum Inti
Bagi Dewey, lebih penting melatih pikiran manusia untuk
memecahkan masalah yang dihadapi, dari pada mengisinya secara sarat dengan
formulai-formulasi secara sarat teoritis yang tertib.[23] Pendidikan harus pula
mengenal hubungan yang erat antara tindakan dan pemikiran, antara eksperimen
dan refleksi. Pendidikan yang merupakan kontiunitas dari refleksi atas
pengalaman juga akan mengembangkan moralitas dari anak-anak didik. Dengan
demikian belajar dalam arti mencari pengetahuan, merupakan suatu proses yang
berkesinambungan. Dalam proses ini, ada perjuangan yang terus menerus untuk
membentuk teori dalam konteks eksperimen dan pemikiran.
Ia juga mengkritik sistem kurikulum yang hanya “ditentukan
dari atas” tanpa memperhatikan masukan-masukan dari bawah.
D. Metode Pendidikan
Untuk memahami pemikiran John Dewey, kita harus berusaha
untuk memahami titik-titik lemah yang ada dalam dunia pendidikan itu sendiri.
Ia secara realistis mengkritik praktek pendidikan yang hanya menekankan
pentingnya peranan guru dan mengesampingkan peranan para siswa dalam sistem
pendidikan. Penyiksaan fisik dan indoktrinasi dalam bentuk penerapan
doktrin-doktrin menghilangkan kebebasan dalam pelaksanaan pendidikan.
Dewey mengadakan penelitiannya mengenai pendidikan di
sekolah-sekolah dan mencoba menerapkan teori pendidikannya dalam praktek di
sekolah-sekolah. Hasilnya, ia meninggalkan pola dan proses pendidikan
tradisional yang mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Sebagai
gantinya, ia menekankan pentingnya kreativitas dan keterlibatan siswa dalam
diskusi dan pemecahan masalah.[24]
How to Play Baccarat - FEBCASINO
BalasHapusThe Baccarat rules kadangpintar and rules of the casino, as well as the rules for the games in question. You 바카라사이트 can always make up some 바카라
Slots & Casino site review 2021 - LuckyClub
BalasHapusThe online slots and casino games luckyclub range from slots and bingo to video poker. The games range from classics such as blackjack, roulette and bingo to new scratchcards and